.
Di penghujung hari, aku berdiri di depan jendela kamarku
yang sengaja kubuka sembari memandang bintang yang tidak pernah lelah menghias
malam. Saat ini pukul 11.35 pm tetapi mataku belum juga terpejam. Terlalu
banyak masalah yang sedang memenuhi pikiranku. Ada-saja masalah yang terjadi
dalam hidupku ini. Padahal, aku ingin sehari saja hidup tanpa masalah. Namun,
aku hanyalah manusia biasa yang memiliki sekedar keinginan. Aku hanya bisa
berdoa dan Dialah yang menentukannya.
Di langit, aku melihat sebuah bintang yang cahaya sangat
terang. Terangnya lebih dari pada bintang yang lainnya. Ingin sekali aku
memetik bintang itu dan ku genggam erat dengan tanganku. Namun, hal itu tidak
mungkin terjadi. Menurutku, ada tiga alasan yang membuatnya tidak mungkin.
Pertama, bintang itu sangat jauh. Kedua, bintang lebih besar dari tanganku
walau dari kejauhan memang terlihat kecil. Ketiga, bintang itu pasti memiliki
panas. Oleh sebab itu, lebih baik aku hanya menikmatinya saja. Itu sudah lebih
dari cukup.
Ku lihat jam di dinding kamarku yang terpajang indah di
dinding yang ada di depan meja belajarku. Ya, aku sengaja memasang benda itu di
dinding depan meja belajar agar aku bisa dengan mudah melihat waktu saat aku
belajar. Dengan begitu, aku dapat mengontrol belajarku.
Pukul 01.45 am, aku mulai menguap. Aku pun memutuskan untuk
tidur. Sebelum tidur, aku menutup jendela kamarku terlebih dahulu. Setelah itu,
aku merebahkan badanku di atas ranjang. Dan beberapa menit kemudian aku tebuai
dalam mimpi.
Beberapa jam kemudian…
Di pagi buta, sekitar jam 03.00am, aku terbangun akibat
handphoneku berdering dengan nyaringnya dan mengganggu tidurku. Aku melihat
handphoneku, orang yang menelepon itu adalah Ela, sahabatku. Dia tidak mungkin
telepon di pagi buta seperti ini kalau bukan ada kepentingan mendesak. Aku
memutuskan untuk mengangkat teleponku.
“Fin, ini benar-benar gawat…!” serunya di seberang sana.
Dari suaranya, aku tahu dia sedang menghadapi masalah besar.
“kenapa?kenapa?”
“fin…fin…” Dia tak bisa berbicara dengan baik karena
nafasnya tersengal-sengal.
“tarik nafas panjang dan hembuskan, tenangkan dirimu, bicara
pelan-pelan.” Aku memberinya saran atau lebih bisa disebut sebagai instruksi.
Aku mendengar dia mengikuti instruksiku. Menarik nafas
panjang dan menghembuskannya. Tenang sejenak, beberapa saat kemudian, dia mulai
berbicara dengan pelan-pelan, “laporan dan data penelitian ilmiah kita hilang.”
Deg. Kenapa bisa hilang? Yang benar saja, laporan itu telah
aku dan Ela buat dengan susah payah. Dan sekarang, semuanya hilang begitu saja.
Aku sebenarnya marah karena dia tak bisa menjaganya dengan baik. Akan tetapi,
aku mencoba untuk menahan amarahku dan bertanya, “kenapa bisa terjadi?”
“Aku ngga tahu, Fin. Semuanya ilang gitu aja..” jawabnya.
“ya udah, nanti kita cari atau kalau tidak kita buat lagi.”
“Fin, maafin aku, aku ngga bisa jaga sesuatu yang telah kita
buat susah payah..” ucapnya dengan penuh penyesalan.
“udah, ngga apa-apa.”
***
Aku berangkat ke sekolah dengan malas. Aku begitu berantakan.
Kulit kusam, mata berkantung hitam seperti panda. Ini terjadi karena aku kurang
tidur. Aku hanya tidur satu jam lebih 15 menit. Setelah Ela meneleponku, aku
tidak bisa tidur lagi karena memikirkan masalah penelitian ilmiah itu.
Di koridor kelas, aku bertemu dengan Ela. Wajahnya tidak
lebih baik dari aku. Dia juga sama berantakannya denganku. Saat bertemu
denganku, dia kembali menunjukan penyesalanannya. Aku lihat dia benar-benar
menyesal telah begitu ceroboh. Sebenarnya, ini bukan murni kesalahannya. Ini
juga salahku, kesalahan kami bersama. Kami tidak menjaga dengan baik sesuatu
yang sangat penting ini.
Aku mencoba menenangkannya dan menjelaskan kalau semua ini
bukan murni salahnya. Perlahan-lahan, dia mulai membaik dan tenang. Setelah
benar-benar tenang, aku mengajaknya pergi ke kelas bersama. Di tengah
perjalanan menuju kelas, aku berpapasan dengan Rama. Rama, seseorang yang
minggu kemarin menyatakan cintanya padaku tetapi aku menolaknya. Aku memiliki
segudang alasan kenapa aku menolaknya. Akan tetapi, yang paling utama adalah
aku tidak memiliki perasaan lebih padanya selain sebagai teman satu sekolah.
Sikap Rama begitu dingin padaku. Mungkin, dia tidak terima
karena aku menolaknya. Selama ini dia memang terkenal sebagai Prince Charming
yang tidak pernah ditolak cewek. Jadi, kalau dia bersikap dingin padaku, ini
tidak terlalu aneh. Akan tetapi, ada sesuatu yang menurutku sangat aneh. Rama
tersenyum dengan manis tapi terkesan tidak ikhlas pada gadis yang disampingku,
Ela, dan Ela membalasnya dengan senyum manis yang ceria. Biasanya Rama tidak
pernah bersikap seperti ini pada Ela. Melihat saja kadang ogah-ogahan.
“Pagi, Ela.” Ucap Rama, dia bahkan menyapa Ela.
“Pagi juga, Rama.” Ela membalas sapaan Rama.
Aku menyikut lengan Ela dan menanyakan perihal keanehan
Rama. Aku menanyakannya setelah Rama pergi tentunya. Mana mungkin aku berani
bertanya tentang Rama jika Rama ada di depanku. Dia menjawab pertanyaanku
dengan ketus “memang salah dia menyapaku? Aneh?”. Setelah menjawab pertanyaanku
dengan nada yang tidak mengenakan itu, Ela langsung pergi meninggalkanku. Dia
benar-benar aneh. Tadi raut wajahnya penuh rasa penyesalan tetapi sekarang dia
lebih terlihat marah dan sebal. Dia marah padaku?
Di kelas, sikap Ela bersikap cuek padaku. Berbeda 180o dari
tadi pagi. Berkali-kali aku berusaha membuatnya tersenyum dan mau berbicara
padaku. Namun, hasilnya nihil. Aku lelah untuk membujuknya lagi. Besok aku akan
mencobanya.
***
Siang harinya, sepulang sekolah, aku menemui Bu Endang,
pembina Ekstrakurikuler PIR. Aku datang tanpa Ela. Dia langsung menghilang
sesaat setelah bel panjang berbunyi. Aku datang ketempat itu untuk meminta
perpanjangan waktu. Perpanjangan waktu untuk menyelesaikan menyelesaikan
laporan dan data penelitian. Seharusnya, hari ini sudah dikumpulkan.
“tunggu disini, sebentar lagi Bu Endang akan datang.” Ucap
salah seorang guru yang juga mengajar di kelasku, namanya Bu Farida. Aku hanya
mengangguk sambil tersenyum.
“Ya, Finda…” Orang yang aku tunggu-tunggu telah datang dan
menyapaku.
Aku pun menjelaskan maksud kedatanganku menemui Bu Endang.
Bu Endang mendengarkanku dengan baik. Tak lama kemudian, Bu Endang setuju untuk
memberi tenggang waktu. Akan tetapi, hanya dua hari yang beliau berikan untuk
kelompokku. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua yang telah diberikan
oleh Bu Endang.
“terimakasih, Bu. Sekali lagi terima kasih…” Ucapku pada Bu
Endang. Bu Endang tersenyum dengan lembut.
***
Berulang kali aku menelpon Ela. Akan tetapi, dia tidak
mengangkatnya. Dia sungguh aneh. Aku harus ke rumahnya untuk mengerjakan tugas
bersama. Aku pun ke rumah sahabatku itu dengan mengendarai sepeda kesayanganku
yang berwarna hijau.
Ada pemandangan yang cukup menarik saat aku tiba di dekat
rumah Ela. Aku melihat Ela keluar dari sebuah mobil mobil mewah berwarna merah
metallic, Ferrari F70. Di sekolahku, Orang yang memiliki mobil mewah seharga
kurang lebih 10 Miliar itu hanyalah Rama. Ya, mobil itu memang milik Rama. Aku
semakin yakin saat aku melihat Rama keluar dari mobil itu dan berbicara pada
Ela.
Bagaimana mereka bisa sedekat ini? Sungguh aneh dan cukup
menarik perhatianku. Cukup menarik juga untuk diselidiki karena pasti ada
‘sesuatu’ dibalik semua ini. Akan tetapi, aku tidak mungkin menyelidikinya,
tidak mungkin. Ingat, Ela itu sahabatku. Kalaupun memang benar ada ‘sesuatu’,
nanti juga akan terbuka dengan sendirinya tanpa perlu diselidiki.
Setelah Rama dan mobilnya itu pergi, aku mendekati Ela. Aku
berpura-pura tidak melihat dia datang bersama Rama. Aku tidak mempedulikannya.
“hi, La. Kamu kok ngga angkat teleponku?” tanyaku pada Ela.
“Emm aku..ngga bawa handphone” jawabnya, terdengar kaku.
“ada kabar bagus buat kita.”
“apa?”
Aku mencerritakan kabar bahagia tersebut, kesempatan kedua
dari Bu Endang. Dia juga terlihat senang dan mengajakku untuk masuk ke dalam
rumahnya. Setelah sampai di ruang tamu, dia mempersilahkanku duduk. Sementara
dia mengambil minuman untukku, aku mempersiapkan beberapa bahan yang
diperlukan.
“ini, Fin, minumnya..”
“makasih, La”
Aku langsung menengguk jus orange yang dibuat oleh Ela.
Tenggorokanku yang sangat kering terasa sejuk saat air jus orange melewati
tenggorokanku. Sedari tadi aku memang haus. Maklumlah, aku mengayuh sepeda dari
rumahku sampai ke rumah Ela yang jaraknya tergolong jauh.
“kita mulai darimana ya?” tanyaku, Ela hanya diam. Dia malah
terlihat melamun. Aku tidak bisa membaca pikirannya kali ini. Belakangan ini
dia memang bersikap aneh. “Ela..halo halo..” aku mengibas-ibaskan tanganku di
depan wajahnya untuk menyadarkannya dari aktivitas melamunnya.
“eh..ya, Fin..aa apa..?” tanya Ela padaku dengan gugup. Dia
seperti orang yang baru saja tersadar dari mimpi buruknya.
“La, apa kamu punya sesuatu yang disembunyikan dariku?”
entah mengapa aku bisa bertanya seperti itu pada Ela.
“tidak.” Jawabnya singkat dan terlihat tidak wajar. Dia
memang jarang berbicara singkat padaku. Akan tetapi, aku berusaha untuk tidak
mempermasalahkannya.
“emm baiklah..ayo kita lanjutkan.”
“baiklah, mari kita lanjutkan.”
Aku dan Ela berkolaborasi untuk melanjutkan penelitiannya
bersama-sama. Menyusun laporan dan berbagai macam data yang telah hilang.
***
Hari ini adalah hari dimana aku dan Ela serta kelompok
lainnya mempresentasikan hasil penelitian. Jantungku berdegup lebih kencang
daripada biasanya. Aku merasa laporan dan data yang telah kelompokku buat tidak
sebaik data pertama yang telah hilang. Banyak sekali kekurangan karena waktu
yang kami miliki begitu terbatas. Hanya dua hari, sedangkan data yang hilang
itu membutuhkan waktu lebih dari satu bulan.
Kelompok yang mendapatkan kesempatan pertama untuk
presentasi adalah kelompok Rama. Rama maju kedepan, dia terliat begitu percaya
diri saat memasukan flashdisknya ke dalam laptop milik sekolah lalu membuka
slide power point milik kelompoknya, tentu saja.
Namun, aku melihat ada keanehan pada slide yang mereka
tampilkan. Isinya aneh. Aku sangat mengenali data yang mereka presentasikan.
Data yang mereka tampilkan sama persis dengan milik kelompokku yang hilang.
Tentu saja, aku sangat tidak terima. Ternyata, Rama yang telah mencuri data
kelompokku.
Ku kepalkan tanganku, geram. Aku ingin sekali melampiaskan
amarahku pada orang itu. Akan tetapi, aku tidak mungkin melakukannya. Aku harus
menahan amarahku. Aku terus menatap Rama tajam saat dia mempresentasikan data
yang bukan miliknya itu. Saat presentasinya berakhir, semua orang yang ada di
ruangan itu memberi tepuk tangan yang meriah. Rama tersenyum dengan bangganya,
begitu juga dengan teman sekelompoknya. Dua orang itu sama saja.
Kini, tiba saatnya aku dan Ela mempresentasikan hasil kerja
kami. Aku harus yakin presentasi ini berjalan dengan lancar walaupun temanya
sama dengan data yang Rama dan temannya sampaikan. Selama presentasi
berlangsung semua orang yang ada di hadapanku menatap tajam seolah mempertanyakan
kok sama? Dalam hal ini mereka kira aku yang salah. Padahal, seharusnya bukan
aku yang salah tapi Rama. Meski begitu, presentasi tetap berjalan dengan
lancar. Walaupun tidak ada tepuk tangan meriah saat aku dan Ela mengakhiri
presentasi kami.
***
Semua kelompok yang ada di ruang multimedia sudah
menyelesaikan presentasi mereka. Suasana ruang multimedia menjadi sepi, hanya
ada aku dan Rama. Rama masih sibuk memasukan peralatannya ke dalam tas. Disaat
itulah aku datang menghampirinya.
“ehm…pakai cara apa tuh ngambil datanya?” tanyaku pada Rama.
Rama mendongakkan kepalanya untuk melihatku. Posisinya sekarang duduk sedangkan
aku berdiri.
“cara yang tidak pernah terlintas sedikitpun diotakmu.”
Aku memutar otakku tapi aku tak paham dengan jawabannya. “maksudmu?”
“tanyakan saja pada sahabatmu.” Jawabnya lagi. Dia
menggendong tasnya, lalu berdiri sebelum akhirnya dia pergi. “oh ya, satu lagi.
Aku ngga nyuri data kamu, aku cuma minta.” Tambahnya sebelum pergi.
***
Keluar dari ruang multimedia, aku langsung menemui Ela di
kelasnya. Dan aku langsung menanyakan perihal data penelitian. Aku bertanya
tanpa berpikir panjang karena terbawa emosi.
“kamu ya yang ngasih data itu ke Rama?” tanyaku tanpa
basa-basi. Ela tidak menjawab pertanyaanku. “data itu ngga hilang ‘kan?”
“kamu nuduh aku?”
“aku tanya bukan nuduh. Atau mungkin memang kamu yang merasa
tertuduh.”
Ela mengeluarkan beberapa kalimat yang berisi pembelaannya.
Entah kenapa dia bersikeras untuk tidak mengakuinya. Padahal, aku sudah tahu
kalau memang dia berbohong. Aku bukan begitu saja mempercayai orang lain dari pada
sahabatku. Akan tetapi, bahasa tubuh Ela memang mengatakan begitu. Dia
berbohong.
“baiklah kalau kamu ngga mau mengakuinya. Tapi, aku udah
tahu kok. Aku hanya ingin kamu jujur, jika kamu masih menganggapku sahabatmu.”
aku pasrah.
“iya, memang aku melakukannya.” Ucap Ela setelah lama
membisu.
“tapi, kenapa?”
“an interesting offer.”
“maksudnya?”
“kamu tahu, aku sudah lama menyukai Rama tapi Rama
menyukaimu. Sebenarnya, bukan hanya Rama. Orang yang menyukaimu sebelumnya juga
begitu. Aku menyukai mereka tapi mereka menyukaimu. Aku lelah. Dan hari itu ada
sebuah tawaran menarik dan bodoh dari Rama. Dia mau menuruti apa mauku asalkan
aku bersedia memberikan data-data itu. Aku menerimanya begitu saja, seperti
terhipnotis.” Jelas Ela panjang lebar.
“aku lega, ternyata kamu masih menganggapku sahabatmu. Kamu
sudah berkata jujur.” Ucapku lantas memeluknya, pelukan sahabat.
“maafkan aku, La. Aku sudah mengecewakanmu. Menghapus
mimpimu untuk ikut lomba PIR tahun ini.”
“sudahlah. Ada data itupun belum tentu lolos.”
***
Hari pengumuman kelompok pemenang yang akan mengikuti lomba
PIR mewakili sekolah. Semua menunggu dengan jantung yang berdegub lebih cepat
daripada biasanya. Mereka semua ingin terpilih tetapi hanya satu pasangan yang
berhak ikut.
“saya umumkan kelompok yang mewakili sekolah kita adalah..”
Bu Endang sengaja menggantungkan kalimatnya. “adalah kelompok Finda dan Ela.”
Lanjut Bu Endang.
Aku tidak percaya kalau namaku disebut. Begitu juga dengan
Ela.
“selamat untuk Finda dan Ela. Untuk yang lain jangan kecewa,
masih banyak lomba PIR yang lain..”
Semua orang yang ada di ruangan tersebut memberi selamat
kepadaku dan Ela. Akan tetapi, itu tidak termasuk Rama. Rama pergi sesaat
setelah pengumuman. Dia terlihat begitu kecewa. Ya, dia sangat menginginkan
kesempatan ini. Akan tetapi, dia telah berbuat curang. Mungkin, itu juga buah
dari kecurangannnya. Curang belum tentu menang.
***
Aku berbaring di atas rerumputan taman belakang bersama Ela.
Malam ini Ela menginap di rumahku. Kami berdua tengah menatap bintang-bintang
yang sangat indah menghias langit malam. Beberapa hari terakhir kami mendapat
banyak masalah dan saat ini kami sedang merenungi untuk diambil hikmahnya.
“kau tahu kenapa kita menang?” tanyaku pada Ela yang tampak
tersenyum menatap langit. Dia sudah kembali menjadi sahabatku yang seperti
biasanya.
“karena kita memang ditakdirkan menang.”
“selain itu, kita memang sudah berusaha keras dengan jerih
payah kita sendiri.”
“benar.” Dia membenarkan ucapanku. “sekali lagi, aku minta
maaf atas kebodohanku.”
“sudahlah, yang penting jangan diulangi dan kita ambil
hikmahnya.”
Ela tesenyum padaku , aku juga tersenyum padanya. Suasana
mulai hening dan kami terlarut dalam suasana malam.
“kamu tahu tidak, tenyata Rama ceroboh sekali. Masa kata Bu
Endang, dia lupa ganti nama kita di data yang dia kumpulin.” Kataku, membuka
pembicaraan lagi.
“yang benar?”
“iya, beneran. Maka dari itu Bu Endang curiga, dan
kecurigaan terbukti. Ya.. Rama ngaku kalau data itu bukan milik kelompoknya.”
“bodoh sekali dia, sudah susah payah membujukku untuk
memberi data itu, eh..dianya ceroboh gitu..”
“buah dari kecurangan.”
“benar.”
Langit malam menjadi saksi kebahagiaanku. Bintang di langit
tersenyum melihat aku dan sahabatku saling menyatu setelah sebuah masalah
menerjang kami. Setelah masalah itu selesai, aku merasa kami memang sudah
ditakdirkan untuk bersahabat. Walaupun diterjang masalah, kami tetap menyatu.
Dan, setelah menyelesaikan masalah, kami jadi semakin kuat.
Selesai